Home

March 16, 2006

20 Muwashofat Sang Pejuang

Assalamu`alaikum wr wb
Bismillahirohmanirohim.

20 Muwashofat Sang Pejuang

Setidaknya, ada 20 kriteria yang harus dimilikipejuang, yang disarikandari Al Qur'an dan hadits, yaitu :
1. Aqidahnya bersih (saliimul 'aqiidah)
2. Akhlaknya solid (Matiinul khuluqi)
3. Ibadahnya benar (Shohiihul I'baadah)
4. Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi)
5. Pikirannya intelek (Mutsaqqoful fikri)
6. Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun nafsi)
7. Mampu berusaha mencari nafkah (Qaadiirun 'alalkasbi)
8. Efisien dalam memanfaatkan waktu (Hariisun 'alalwaqti)
9. Bermanfaat bagi orang lain (Naafi'un lighoirihi)
10. Selalu menghindari perkara yang samar-samar(Ba'iidun 'anisy syubuhat)
11. Senantiasa menjaga dan memelihara lisan (Hifdzullisaan)
12. Selalu istiqomah dalam kebenaran (istiqoomatunfilhaqqi)
13. Senantiasa menundukkan pandangan dan memeliharakehormatan (Gaddhulbashor wahifdul hurumat)
14. Lemah lembut dan suka memaafkan (Latiifun wahubbul'afwi)
15. Benar, jujur dan tegas (Al Haq,Al-amanah-wasyja'ah)
16. Selalu yakin dalam tindakan (Mutayaqqinunfil'amal)
17. Rendah hati (Tawadhu')
18. Berpikir positif dan membangun (Al-fikruwal-bina')
19. Senantiasa siap menolong (Mutanaashirunlighoirihi)
20. Bersikap keras terhadap orang-orang kafir(Asysyidda'u 'alal kuffar)...

Sudahkah kita melaksanakan salah satu dari option itu ikhwan, Mari koreksi dan muhasabah diri.
Ya Rabb Kami hanya Ingin Engkau ridho kepada Kami. Amin Ya Robal Allamin.
Wassalamualaikum wr wb

March 11, 2006

Khilafah dan Benturan Peradaban

Catatan kecil #7 ( arjunarimba)

Khilafah dan Benturan Peradaban


Diskursus mengenai Khilafah akhir-akhir ini semakin menyeruak ke permukaan. Di satu pihak mengklaim bahwa Khilafah (Negara Islam) adalah sesuatu yang sangat tidak realistis, absurd dan hanya merupakan romantisme sejarah. Kelompok ini berpendapat bahwa ideologisasi Islam dan realitas Khilafah tidak ada dalam Al-Qur’an. NU misalnya, sebagai salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini lewat Gus Dur mayakinkan publik bahwa NU tak pernah bercita-cita untuk mendirikan negara Islam.

Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan, Nahdlatul Ulama (NU) tidak pernah mencita-citakan, apalagi bermimpi mendirikan negara Islam di Indonesia. Sejak Muktamar NU di Banjarmasin 1935 yang memutuskan tidak ingin mendirikan negara Islam sampai Muktamar NU di Situbondo 1984 yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bernegara, merupakan bukti bahwa NU tidak pernah menginginkan berdirinya negara Islam di bumi Indonesia. Lebih lanjut ia mengatakan, "Saya sendiri dalam menjalankan pemerintahan juga berpegang pada keputusan para ulama, yaitu kita tidak wajib mendirikan negara Islam, melainkan wajib menegakkan keimanan Islam dan akhlak Islam di dalam diri orang-orang yang percaya. Dengan kata lain,tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam. Kalau ini tidak diterima orang, bagi saya orang itu belum paham," kata Presiden Gus Dur (Kompas,27 Maret 2000).

Keterbatasan pemahaman Islam sebagai sebuah ideologi telah menyebabkan kebingungan di kalangan umat Islam ketika membahas mengenai konsep Khilafah itu sendiri. Bahkan lebih parah lagi ada beberapa pihak yang berusaha mereduksi ajaran Islam itu hanya sebatas ibadah ritual semata. Pemahaman seperti ini telah mengkerdilkan makna dari negara Islam dan kesempurnaan Syariat Islam yang telah diturunkan Allah SWT sebagai solusi problematika umat. Kekhawatiran akan berdirinya Khilafah seringkali juga dipicu oleh fakta bahwa selama ini isu agama sering dituding sebagai sumber konflik sosial. “Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mereduksi atau kalau mungkin mengeliminasi faktor agama ini sebagai sumber konflik sosial. Yakni dengan menghilangkan isu negara Islam dan Islamisasi di Indonesia. Hal ini penting sebab ini menyangkut perasaan umat non-Muslim. Mereka harus diberikan pengertian bahwa mendirikan negara Islam bukanlah menjadi kewajiban dan cita-cita umat Islam Indonesia (Faisar Ananda Arfa, alumni S2 McGill University, kini sedang menyelesaikan Program S3 di IAIN Jakarat—dalam tulisannya di Kompas, 15 Maret 1999). Pendapat yang senada disampaikan oleh Ali Abdul Raziq, seorang profesor ilmu kesusasteraan Al Azhar Kairo, mengeluarkan buku yang sangat kontroversial berjudul "Al Islam wa `Ushul Al Hukm" (terjemahan Indonesia berjudul “Khilafah dan Pemerintahan Islam"), mengatakan bahwa Islam tidak mewajibkan kepada umat untuk mengangkat imam atau pemimpin tertinggi yeng menjadi pengatur kepentingan mereka. Tidak ada sesuatu dalil apapun dari Al-Qur'an atau Sunnah, begitu juga tidak ada ijma' yang mengatakan seperti itu. Melaksanakan syi'ar keagamaan, hukum-hukum syari'at dan kemaslahatan masyarakat, tambahnya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya imamah atau khilafah, tetapi tergantung kepada wujudnya suatu pemerintahan apapun model konstitusinya maupun sistemnya. Karena Islam tidak menentukan bentuk ini ataupun itu didalam urusan pemerintahan (Kodrat 2001)

Sementara itu di pihak lain berpendapat bahwa Khilafah adalah sesuatu yang sahih, dan wajib untuk ditegakkan sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, para shahabat dan khilafah-khilafah sesudahnya. Mereka mengklaim bahwa Khilafah adalah panacea bagi penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi umat Islam saat ini. Khilafah adalah sebuah keniscayaan dan bukan sekedar romantisme historis semata. Khilafah adalah institusi yang sah dan satu-satunya untuk menjamin pelaksanaan Syariat Islam secara menyeluruh. Catatan kecil ini mencoba untuk memaparkan beberapa hal mengenai Khilafah, apa, bagaimana hukumnya serta mengapa terjadi perbedaan pandangan di kalangan umat Islam serta bagaimana posisi Negara Islam ini dalam benturan peradaban (clash of civilization).

Apa itu Khilafah?
Secara ringkas, Imam Taqiyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban risalah islam ke seluruh penjuru dunia. (An Nabhani, Nizhamul hukmi fil islam, hal. 17).
Dari definisi ini jelas bahwa hanya ada satu Daulah Khilafah bagi seluruh kaum muslimin. Adian Husaini menyebutkan bahwa Kekhilafahan (Khilafah) adalah kepemimpinan dunia Islam di bawah seorang Khalifah. Mengutip catatan Dr. Muhammad Sayyid Al Wakil, Husaini juga menyebutkan bahwa Khilafah Islamiyah adalah simbol persatuan masyarakat Islam. Dalam kondisi terlemah pun Khilafah islamiyyah jauh lebih baik bagi kaum muslim daripada berpecah belah dan mengantarkan keruntuhannya.

Apa hukumnya menegakkan Khilafah?
Kajian terhadap hukumnya menegakkan Khilafah harus didasarkan pada dalil-dalil syara’. Para ulama fikih mendefinisikan, dalil syara’ adalah sesuatu yang dijadikan sebagai hujjah (argumen), bahwa yang dibahas dari sana adalah hukum syara’.
1. Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tapi jangan salah paham sehingga menyimpulkan bahwa Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan yang unggul. Ketiadaan suatu istilah tidak semestinya bermakna ketiadaan suatu konsep. Contohnya konsep terpenting dalam Islam adalah wujud Allah, tetapi istilah wujud tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi bukan berarti ketiadaan istilah wujud Allah, kemudian menyebabkan setiap orang tidak bisa memahami eksistensi Allah sebagai Sang Pencipta. Keberadaan Allah bisa kita cerap dari keberadaan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Demikian juga dengan konsep Daulah (negara). Tetapi dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas mewajibkan kepada kita untuk mentaati Ulil Amri, yatu seorang Al Hakim (penguasa). Pemahaman terbalik terhadap ayat ini juga menjelaskan perintah untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri, sebab mustahil Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati sesuatu yang keberadaannya berhukum mandub (sunah). Sehingga jelas bahwa mewujudkan Ulil Amri adalah suatu perkara yang wajib. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah juga memrintahkan kepada Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.
“Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”
(Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).

Dalam kaidah ushul fikih dinyatakan bahwa perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada seluruh kaum muslimin, selama tidak ada dalil yang menkhusukan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah di atas hanya kepada Rasulullah SAW, sehingga ayat di atas berlaku secar umum, yaitu berlaku kepada seluruh umat Islam. Dan perintah untuk mentaati hukum-hukum Allah tidak bermakna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan Islam. Sebab hanya dengan pemerintahan itulah terdapat jaminan bahwa hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT dapat ditegakkan secara sempurna. Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya konsep negara/pemerintahan Islam telah disyariatkan dalam Al-Quran, atau dengan kata lain ayat-ayat di atas menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara sebagai formalisasi penerapan hukum-hukum Islam, yaitu Khilafah Islamiyyah.

2. as-Sunnah
as-Sunnah yaitu apa yang bersumber dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan, diamnya) atau sifat. As-Sunnah sama seperti al-Qur’an, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi berupa lafazh dan maknanya, sedangkan as-Sunnah hanya maknanya saja yang disampaikan kepada Nabi sementara lafazhnya disusun oleh Nabi SAW, maka as-Sunnah seperti halnya Al-Qur’an sehingga orang mengingkarinya adalah kufur. Adapun hubungan Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bahwa as-Sunnah memerincikan apa yang mujmal (global) dari Al-Qur’an, mengkhususkan yang bentuknya umum, membatasi yan cakupannya terlalu luas (mutlaq) dan melahirkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadits ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwasanya Imam itu bagaikan perisa (tameng), dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]
“Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para shahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” [HR. Muslim].

Kedua hadits di atas merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahwa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahwa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faidah-faidah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadits pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Rasulullah SAW juga bersabda:

“Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam)
walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Muslim].
Hadits ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.


Rasulullah SAW bersabda pula :
“Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.”
[HR. muslim].
Dalam hadits ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, yaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, niscaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, yaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.

3. Ijma Shahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Shahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Shahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para shahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian shahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Shahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
4. Kaidah Syar’iyah
Ditinjau dari analisis kaidah ushul fikih, mengangkat Khalifah juga wajib, hal ini didasarkan pada suatu kaidah ushul fikih yaitu: Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib (Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya)
Melaksanakan hukum-hukum Islam secara menyeluruh adalah suatu kewajiban. Sementara hal tersebut tidak bisa dilakukan secara sempurna yang tanpa adanya kekuasaan yang menjamin penegakan hukum-hukum Islam maka eksistensi negara (Khilifah) hukumnya adalah wajib. Formalisasi syariat Islam ini mutlak adanya, sebab institusi Khilafah inilah yang berkewajiban untuk memastikan bahwa syariat Islam telah dilaksanakan secara menyeluruh kepada seluruh kaum muslimin, juga berkewajiban untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia serta menjaga eksistensi, jiwa dan harta seluruh kaum muslimin.

Pengakuan Ide
Bahwa Islam mengatur masalah kenegaraan sebenarnya sudah banyak dibahas oleh para fuqaha (ahli ilmu fiqih), jadi bukanlah hal yang asing. Demikian pula dikalangan para pengamat Islam dari Barat (orientalis) banyak diantara mereka mengakui bahwa Islam dan negara adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan.
Abdul Muta'al Muhammad al Jabari mengumpulkan pendapat para orientalis Nasrani dalam bukunya Nizhamul Hukm fi Al-Islam bi aqlaami Falaasifatin Nashara mengungkapkan antara lain (Kodrat 2001):
Lorafa Gialery:
Islam itu adalah agama dan negara. Dan sekalipun Barat yang kini maju dengan memisahkan agama dari negara, tetapi Islam tetap tidak memisahkan agama dari negara.

Gustav Grembown:
Penobatan Khalifah kaum muslimin disepakati dengan ijma'. Hal ini telah diperinci oleh para fuqaha.
Bernad Lewis:
Sebelum Khilafah runtuh, para Sultan (Khalifah) adalah penguasa tanpa saingan yang hampir seluruh kaum muslimin bergabung dengannya.

M. Dhyauddin Rayyis juga mengumpulkan beberapa pendapat para orientalis dalam bukunya An Nadlariyat As-Siyasah al Islamiyah antara lain:
Thomas Arnold:
Nabi seorang kepala agama dan kepala negara.
R. Gibb:
Sejak saat itu sudahlah menjadi jelas, bahwa Islam bukanlah semata-mata keyakinan agama individual, tetapi sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri, yang memiliki bentuk pemerintahan yang mandiri serta memiliki konstitusi dan sistem pemerintahan yang khusus.
Sementara itu dari kalangan fuqaha Islam terdahulu, masalah ini bisa dilihat dari berbagai buku yang mereka buat. Buku tersebut antara lain :
Imam Al-Ghazali:
"Oleh karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah bagai saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, sedang segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap".
(Lihat Imam Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad, halaman 199).

Muhammad bin Al-Mubarrak :
"Al-Qur'an mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam) yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian substansial dari ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keislaman kaum muslimin pun tidak akan sempurna tanpa negara".
(Lihat Muhammad bin Al-Mubarrak, al-Hukmu wa ad-Daulah, halaman 11).

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri :
"Para Imam (yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad)-Rahimahullah - telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang dizhalimi".
(Lihat Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh `Ala al-Madzahib al- Arba'ah, Juz V halaman 614).

Imam Ibnu Hazm:
"Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji'ah, Syi'ah dan Khawarij, telah sepakat mengenai kewajiban Imamah dan bahwa ummat wajib menta'ati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah, dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari'at yang dibawa Rasulullah SAW". (Lihat Ibnu Hazm, al-Fashlu fil Milal wa al-ahwa an-Nihal, juz 4, hal 87).

Imam al-Qurthubi:
"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni kewajiban Khilafah) baik diantara ummat maupun diantara para imam, kecuali pendapat al-Asham -yang tuli (Arab: `asham"-tuli) terhadap syari'at- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya".(Lihat Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 264).

Ibnu Khaldun:
"Sesungguhnya pengangkatan Imam adalah wajib, hal ini telah diketahui secara syar'i berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in dan para shahabat Rasulullah Saw ketika beliau wafat mereka bergegas membai'at Abu Bakar r.a. dan menerima pandangannya dalam setiap urusan mereka dan yang demikian ini terjadi setiap masa. Tidak pernah dibiarkan kekacauan di tengah-tengah manusia pada setiap masa dan penetapan hal tersebut berdasarkan ijma' menunjukkan wajibnya pengangkatan Imam". (Lihat Ibnu Khaldun, Muqoddimah,halaman 127).

Imam al Mawardi:
"Pengangkatan Imam yang ditegakkan di tengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma' (Lihat Imam Al-Mawardi, Ahkamus-Sulthoniyah, halaman 5).

Ibnu Taimiyah :
"Wajib mengangkat Penguasa (Imarah) secara agama hal ini akan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sesungguhnya mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam pemerintahan adalah dengan taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah Saw."
(Lihat Ibnu Taimiyah, as-Siyasah as-Syar'iyah, halaman 161).
"Wajib diketahui manusia bahwa adanya wilayatul amr (perintah) bagi manusia adalah kewajiban yang paling agung dalam agama. Bahkan tidak tegak agama dan juga persoalan dunia tanpanya (pemerintahan)."
(Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu'ul Fatawa, halaman 390).

Perbedaan Pola Pikir
Isu kebangkitan Islam politik serta formalisasi Syariat Islam dalam kerangka Khilafah Islamiyyah ternyata disikapi beragam bahkan di antara kaum muslimin sendiri. Bila ditilik lebih jauh perbedaan itu sesungguhnya terjadi karena perbedaan kerangka berpikir (frame of thinking), yaitu perbedaan dalam memandang hubungan antara agama dan negara dalam kaitannya dengan penerapan hukum-hukum agama (Islam) oleh negara.
Pertama, terjebak pada pola pikir sekulerisme yang memisahkan antara agama dan kehidupan (fashlu ad-din ani al-hayat). Menurut Muhammad Quthb (Ancaman Sekulerisme, 1986) sekulerisme adalah membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama Islam. sehingga agama dianggap sebatas nilai-nilai etika (moral), bersifat individual, sebatas memuat nilai-nilai yang dianggap universal. Agama tidak boleh mengatur secara praktis (berupa hukum dan undang-undang) dalam masalah politik, ekonomi dan kenegaraan. Asumsi sekulerisme ini dipicu oleh seruan Bible yang mengatakan, "Gives unto God what is God's, and gives unto caesar what is caesar's" (Berikanlah apa yang dimiliki tuhan kepada tuhan, dan kaisar kepada kaisar). Azhary dalam Husaini (2004) mendefinisikan sekulerisme sebagai ”paham yang ingin memisahkan/menetralisir semua bidang kehidupan seperti politik dan kenegaraan, ekonomi, hukum, sosial budaya dan ilmu pengetahuan teknologi dari pengaruh agama atau hal-hal yang gaib.
Kedua, menilai Islam dengan metode berpikir sosiologis-pragmatis. Secara luas sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia di dalam masyarakat. Dalam metode berpikir sosiologi, seperti halnya ilmu sosial lainnya, menggunakan alur berpikir induktif. Dalam kerangka berpikir induktif, teori-teori kebenaran dibangun berdasarkan fakta-fakta, sehingga terdapat semacam generalisasi berdasarkan fakta yang ada. Dengan demikian standar kebenaran itu pun menjadi bias, bersifat relatif dan berubah-ubah menurut ruang dan waktu, karena fakta-fakta itu sendiri berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berbeda. Sebagai contoh, kesimpulan yang menyatakan bahwa orang Nasrani lebih maju dan lebih beradab daripada orang Muslim dengan membandingkan kemajuan iptek dan kehidupan masyarakat di Inggris, Amerika, Perancis dan beberapa negara Eropa bila dibandingkan dengan mayoritas kaum muslimin yang berada dalam kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan.
Kesimpulan ini pasti akan berubah jika kita melihat bahwa banyak sekali tindak kriminal, perzinahan dan berbagai pelanggaran sosial yang terjadi di negara-negara Barat tersebut. Gaya hidup mereka yang permisive, hedonis, materialistik dan amoralistik bila dibandingkan dengan keluhuran akhlak kaum muslimin, maka kesimpulannya pun akan berbunyi orang Muslim jauh lebih beradab dibandingkan orang Nasrani. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Rekayasa Sosial mengistilahkannya dengan Fallacy of Dramatic Instanceatau dikenal pula dengan over-generalization, yaitu penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general/umum.
Alur berpikir ini diperparah dengan sikap hidup mereka yang pragmatis. ”Pragmatisme” adalah suatu paham filsafat yang dipopulerkan oleh Charles S. Pierce (1905). Paham ini menetapkan aspek-aspek praktis sebagai parameter benar salahnya suatu pemikiran atau konsep. Chambers Everyday Dictionary merumuskan pragmatisme sebagai ”a philosophy or phylosophical method that makes practical consequences the test of truth”, yakni suatu filsafat atau metode filsafat yang menetapkan hasil-hasil praktis sebagai standar kebenaran. Sedangkan ”pragmatis” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) bermakna ”bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan)”. Lebih jauh lagi, Adian Husaini (2004) menjelaskan bahwa ada korelasi positif antara ”sekuler” dan ”pragmatis”, yaitu sama-sama memiliki kecenderungan untuk mengabaikan faktor-faktor keagamaan atau ideologis dan lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat ”praktis” dan ”memberikan manfaat” yang nyata, meskipun hal itu bertentangan dengan ajaran-ajaran ideologi atau keagamaan. Sikap beragama dan pola pikir yang pragmatis artinya sikap dan pola pikir itu dilakukan bukanlah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalil-dalil keagamaan, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keuntungan dan manfaat praktis.
Adapun dalam Islam sumber kebenaran bukanlah fakta-fakta. Sumber kebenaran adalah Al-Qur'an dan Hadits termasuk yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu ijma' sahabat dan qiyas. Fakta-fakta hanyalah sebatas obyek pembahasan yang dicari hukumnya dan harus diubah berdasarkan hukum itu. Dengan demikian dalam metode berfikir Islam, hukum Islam itu tidak berubah karena waktu dan tempat. Tetapi hukum Islamlah yang mengubah fakta yang tidak sesuai dengan hukum Islam (sumber: Muhammad Ismail dalam Bunga Rampai Pemikiran Islam (Al Fikru al Islamy) halaman 90). Sebagai contoh, pada saat kita menemukan pada kondisi masyarakat Banyuwangi dimana para isteri mencari nafkah, sedangkan suami mengurus anak di rumah, terus kemudian akan diadakan pembagian hak waris. Apakah dikarenakan suami tinggal di rumah (tidak bekerja), dan isteri bekerja lantas hukum Islam mengenai waris diubah, yaitu: dengan perbandingan dua bagi wanita, dan satu bagi pria?. Tentulah tidak, bahkan sebaliknya, faktalah yang harus diubah agar mengikuti hukum Islam, artinya pria haruslah mencari nafkah, disebabkan syara' telah mewajibkan pihak suami untuk mencari ma'isah, bukan wanita. Seandainya hukum Islam itu mengikuti fakta, maka seharusnya ada revisi-revisi ayat Al-Qur'an, yang disesuaikan dengan jaman. Na'udzubillah tsuma na'udzubillah.
Demikian juga ketika sekulerisme dan pragmatisme menjadi acuan dalam penentuan standar kebenaran. Hal ini jelas bertentangan dengan Firman Allah SWT yang mengharuskan kaum muslimin untuk berhukum hanya kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam banyak ayat Allah SWT memerintahkan kepada umat muslim untuk memutuskan segala sesuatunya, benar atau salahnya, hanya berdasarkan pada apa-apa yang diturunkan Allah SWT melalui Rasul-Nya.
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang kafir" (TQS. Al Maidah:44)
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang Zhalim" (TQS. Al Maidah:45)
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang fasik" (TQS. Al Maidah: 47)
"Maka putuskanlah perkara diantara manusia dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu"
(TQS Al Maidah: 48)
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (TQS.An-Nisaa: 65)
"Apakah kamu beriman kepada sebagian isi al kitab (Al-Qur'an) dan menolak sebagian isi al kitab (Al-Qur'an) yang lain, tidaklah balasan bagi orang yang melakukan demikian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat"
(TQS Al-Baqarah: 85)
Rekayasa Barat
Paham sekulerisme dilihat dari asal pertumbuhan muncul di Barat. Saat itu di Eropa sedang mengalami masa kegelapan (The Dark Age). Melihat situasi ini, beberapa pemikir kemudian menggugat keberadaan agama yang mereka tuduh menjadi pangkal penyebab kemunduran ini. Lebih jauh mereka melihat bahwa agama (Kristen) telah digunakan untuk melegalisasi penindasan negara (kerajaan) terhadap rakyat. Terjadi pertarungan pemikiran antara dua kubu ini. Akhirnya, diambil jalan tengah yang moderat yaitu reposisi peran agama dalam kehidupan. Agama tetap diakui, hanya peran agama kemudian dipersempit pada persoalan-persoalan individu (ritual) dan moral. Agama tidak boleh ikut campur dalam hal ikhwal politik, ekonomi, pendidikan, dan persoalan-persoalan publik lainnya. Kalaupun ingin berperan agama hanya sebatas memberikan nilai-nilai (value) yang universal seperti keadilan, persamaan, kerja keras. Atau sebatas moral (ethics) seperti kejujuran, keterbukaan dsb. Namun agama tidak boleh diformulasikan dalam bentuk aturan (laws).
Dalam kerangka itulah kemudian sekulerisme kemudian berusaha dipaksakan penerapannya di negeri-negeri Islam. Berawal dari masa kolonialisme, negara-negara Barat ingin menjadikan sekulerisme menjadi acuan di seluruh dunia terutama di negeri-negeri Islam. Walaupun era kolonialisme berakhir, Barat kemudian berusaha tetap menanamkan pengaruhnya dengan mendukung penguasa-penguasa yang pro-Barat dan mau menerapkan sekulerisme dalam pemerintahan mereka. Masih dalam kerangka penjajahan, mereka kemudian menawarkan berbagai bantuan luar negeri untuk mengatasi masalah ekonomi (hutang), politik dan pendidikan. Pada gilirannya nanti akan menyebabkan negara-negara yang baru merdeka tersebut tetap bergantung kepada Barat, yang sebenarnya merupakan penjajahan model baru dari Barat.
Kenapa Barat demikian semangat melakukan sekulerisasi dunia Islam? Hal ini setelah mereka mempelajari bahwa sumber kekuatan Islam ada pada pandangan ideologisnya (aqidah) yang tidak hanya sebagai dasar hubungan manusia dengan Tuhannya (ruhiyah) tetapi juga menjadi landasan hubungan manusia dengan sesama manusia (siyasiyah/politik).
Untuk melemahkan kekuatan Islam ini, mereka kemudian menanamkan ide-ide kapitalisme di dunia Islam. Disamping lewat aturan-aturan yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat, juga lewat para intelektual-intelektual yang dididik dengan pemikiran sekuler di Barat. Hasilnya sekarang cukup signifikan, dengan dipisahkannya Islam dari politik dan persoalan publik lainnya, mereka bisa mengokohkan penjajahan mereka atas dunia Islam. Saat sekarang ini hampir seluruh negeri-negeri Islam para penguasanya tunduk ke Barat dan tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada Barat.
Bagi Barat disatukannya Islam dan urusan masyarakat (terutama politik) adalah ancaman utama bagi mereka. Mereka khawatir kebangkitan Islam politik akan mengembalikan persatuan dunia Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Merka punya pengalaman yang demikian pahit ketika Khilafah Islam masih ada, terutama saat-saat Perang Salib. Mereka juga mengalami pengalaman pahit yang demikian mendalam bagaimana sulitnya menjajah negeri-negeri Islam, meskipun sudah berantakan, karena di dalam masyarakatnya masih ada semangat jihad melawan kekufuran dan penindasan.
Ketakutan terhadap bangkitnya Islam kaffah (yang mengatur segenap aspek kehidupan) ini tampak dari pernyataan tokoh-tokoh Barat. Perdana Menteri Inggris Goldstone pernah mengacungkan Al-Qur'an dalam sidang parlemen Inggris dan menyatakan: "Selama kitab ini masih ditangan kaum muslimin kita tidak akan bisa mengalahkan mereka dan kita tidak akan pernaha aman dari mereka". Huntington pernah membuat geger ketika dalam bukunya "The Clash of Civilization" menyatakan musuh peradaban Kapitalisme masa depan adalah Islam. Francis Fukuyama dalam bukunya "The End of History" juga mengisyaratkan hal yang senada dia menyebutkan :"Kapitalisme adalah ideologi yang terakhir bagi peradaban manusia dan sesungguhnya Islam meskipun lemah dan terpecah adalah sebagai ancaman agama baru ini (Kapitalisme)". (lihat DISKURSUS NEGARA ISLAM: Antara Das Sein dan Das Sollen halaman 18).
Dominasi peradaban Kapitalisme ini semakin kokoh setelah para intelektual yang dididik di Barat bahkan beberapa ulama juga menyuarakan hal yang sama. Muncullah slogan-slogan “Islam Yes Partai Islam No", "yang penting substansinya bukan kulitnya", "yang penting akhlaknya bukan asas Islamnya". Muncul pula istilah-istilah yang semakin membuat opini yang menyudutkan politik Islam, seperti Islam kultural vs Islam struktural, Islam kanan vs Islam kiri, Islam fundamentalis vs Islam moderat. Semua slogan-slogan ini pada intinya ingin menjauhkan umat Islam dari ajaran-ajaran Islam dibidang politik, ekonomi dan aspek kemasyarakatan lainnya.
Sebagian besar tokoh politik dan intelektual kemudian ikut-ikutan menuduh kalau Islam dikaitkan dengan politik adalah sebuah kemunduran, primordialisme, sekterian, politisasi agama dan tuduhan-tuduhan negatif lainnya. Berhasilnya sekulerisme di dunia Islam ini, salah satunya tampak dari lemahnya dukungan masyarakat (umat Islam) kepada partai politik Islam di belahan dunia Islam.

Keniscayaan Perang Peradaban
Meski banyak menimbulkan pro dan kontra, teori tentang perang peradaban yang dicetuskan oleh ilmuwan Amerika Samuel P. Huntington pada faktanya tidak bisa dipungkiri. Pasca perang dingin dengan melihat relaita yang ada, sesungguhnya sedang berlangsung perang peradaban antara Barat dan Islam. Bahkan boleh dikatakan, perang peradaban modern saat ini hanyalah lanjutan dari perang peradaban yang terjadi di masa lalu, khususnya era perang salib.
Semenjak berakhirnya bipolaritas Kapitalisme-Sosialisme, yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet sebagai negara pengusung Sosialisme dan lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Soviet-, Francis Fukuyama, seorang pemikir Amerika keturunan Jepang, menyebut peristiwa itu sebagai babak Akhir Sejarah (The End of History). Menurutnya, benturan Kapitalisme-Sosialisme telah berakhir, dan dunia akan berpola mengikuti sistem Demokrasi Liberal dengan Amerika sebagai kaptennya. Era ini diproklamirkan George Bush sebagai The New World Order (tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan Negara-negara lainnya sebagai buffer­nya.
Namun, seiring dengan terpolarisasinya berbagai negara ke dalam jaringan sistem Kapitalisme global, muncul sebuah analisis futuristik dari Samuel P. Huntington tentang masa depan pola hubungan internasional yang menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik. Secara lebih tegas dia mengatakan, konflik itu semakin meningkat antara Islam dan masyarakat-masyarakat Asia di satu pihak dan Barat di pihak lain. Lebih jauh lagi, Huntington memprediksikan, tantangan paling serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah revivalisme Islam dan peradaban Cina (baca: Konfusianis).
Kini perseteruan antara Islam dan Barat semakin meruncing setelah terjadi Tragedi WTC 11 September 2001. Kasus ini telah berhasil dieksploitasi sedemikian rupa oleh AS dan sebagai jalan bagi pemberlakuan UU antiteroris di seluruh dunia. Terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika adalah Islam dan tidak ada pengertian lain. Noam Chomsky menyebut permainan stigma Barat sebagai “newspeak” untuk membatasi pandangan dan realita sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negara-negara Timur Tengah yang notabene adalah negeri-negeri Islam.
Bahkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyebut ideologi Islam sebagai ‘ideologi setan’. Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris, Blair menjelaskan ciri ideologi setan, yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariat adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslimin harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Peradaban (hadhârah) secara bahasa adalah al-hadhar (tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab seperti kota), sebagai lawan/kebalikan dari kata al-badwu (derah pinggiran kota dan pedesaan/pedalaman. (Lazuardi Al Jawi, Hakikat Benturan Peradaban, 2005)
Di kalangan Barat, peradaban diistilahkan dengan civilization; di ambil dari kata civilis, yang berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk menggambarkan proses progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang menuntut perbaikan, keteraturan, serta penghapusan barbarisme dan kekejaman. Di balik pemunculan pemahaman ini terletak spirit pencerahan Eropa-yang kemudian dikenal dengan renaissance-dan rasa percaya diri terhadap karakter progresif era modern.(lihat huntington, Benturan Antar Peradaban, hlm 38).
Istilah ini kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah. Namun demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm. Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi-yang dimanifestsikan dalam perilaku-tentang kehidupan. Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.(An Nabhani, Peraturan hidup dalam islam. Hlm. 92)
Dr. Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah ke dalam dua kategori, yaitu:(1) Yang berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, pakaian tidak terlepas dari hadhârah, karena seorang Muslim akan membuat pakaian dengan model yang dapat menjaga aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis tidak akan memperhatikan hal-hal itu.
(2) Yang tidak berhubungan dengan hadhârah, yaitu hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti alat-alat laboratorim dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat universal.
Walhasil, peradaban (hadhârah) berkaitan dengan pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda’ (ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses berpikir yang di atasnya dibangun sistem. Ditinjau dari definisi ini, mabda’ menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem. (lihat Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, hlm. 17)
Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah benturan yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda atau bertolak belakang. Dalam konteks peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain, baik Kapitalisme maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing ideologi memandang yang lain sebagai musuhnya. Inilah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, kecuali oleh para pendusta dan pembohong.




Beberapa Faktor Pemicu Benturan Peradaban Islam dan Barat
Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:1. Faktor agama.
Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1 abad (1096-1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096-1099 M; antara tahun 1147-1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M. Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.
Hingga kini, ‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang berjudul, Covering Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.
Kata “christendom” dan “holy war” mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam. (Lazuardi Al Jawi, Hakikat Benturan Peradaban, 2005)
2. Faktor ekonomi.
Lenyapnya institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam. Sejak masa penjajahan militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi ‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai ‘tantangan’, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi peradaban Barat saat ini.
Walhasil, benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.


3. Faktor ideologi.
Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah satu di antaranya adalah akan berdirinya “[i]A New Chaliphate”, yaitu berdirinya kembali Khilafah Islam-sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus diperhitungkan. (Lazuardi Al Jawi, Hakikat Benturan Peradaban, 2005)
Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah? Jawabannya, karena potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya. Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.(An-Nabhani, ad-dawlah al-Islamiyyah, hlm 161-166). Kelak, Khilafahlah yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalismenya yang masih dominan saat ini, tidak akan berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini.
Hubungan Peradaban dengan Negara
Peradaban sangat erat hubungannya dengan eksistensi negara. Peradaban dapat dianggap sebagai “isi”, sedangkan negara adalah “wadah”-nya. Dalam keadaan tanpa “wadah”, “isi” akan tercecer dan tercerai-berai tanpa kegunaan yang berarti.
Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat dibuktikan dari fakta sejarah perjalanan umat manusia. Tidak satu pun peradaban dapat eksis secara sempurna, kecuali jika ia ditegakkan oleh satu atau beberapa negara yang mendukungnya.
Peradaban Barat sulit dibayangkan dapat menjadi hegemoni seperti sekarang ini kalau tidak ada negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain. Demikian pula peradaban Islam pada masa lalu, tidak akan dapat tegak sempurna tanpa eksistensi Daulah Islamiyah yang eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah Utsmaniah di Turki (1924 M).
Metode Islam menghadapi Benturan Peradaban
Secara umum agenda untuk ‘menyambut’ benturan peradaban antara Islam dan Barat, dapat diringkas sebagai berikut (Zallum 1997 diacu dalam Lazuardi Al Jawi 2005):

1. Melakukan pembinaan di tengah-tengah umat.
Bagaimanapun, semua upaya penghancuran itu akan lebih mudah dihadapi kalau umat Islam kebal. Pembinaan (tatsqîf) di tengah umat adalah dalam rangka mewujudkan pola pikir yang islami, dan melatih ketahanan pola jiwa mereka dengan selalu berada dalam suasana taqarrub ilâ Allâh.
2. Melancarkan perang pemikiran dan mengungkap makar asing.
Penghancuran Islam sering tidak disadari oleh kaum Muslim. Karena itu, membongkar agenda tersembunyi dari penjajah (kasyf al-khuthath) harus selalu dilakukan. Mereka juga harus selalu mengkritisi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan menyesatkan yang diklaim oleh kalangan liberal sebagai pemikiran Islam. Jika pemikiran-pemikiran ini tidak ditunjukkan kekeliruan dan kesalahannya, maka umat Islam yang awam akan menyangka bahwa hal itu adalah bagian dari Islam.
3. Membangun kesadaran politik Islam dan memberikan gambaran Islam sebagai solusi.
Kesadaran politik Islam yang benar harus ditumbuhkan di tengah-tengah umat. Yang dimaksud adalah politik Islam yang akan membebaskan manusia dari ketertindasan dalam segala aspeknya menuju pada keridhaan Allah semata-mata. Untuk itu, para aktivitis dakwah harus mampu memberikan gambaran syariat Islam sebagai solusi atas segala masalah manusia.
4. Membangun tatanan politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.
Dengan tumbuhnya kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat maka berarti telah tersedia ‘perangkat keras’ (yaitu dukungan dari umat Islam) dan ‘perangkat lunak’ (yaitu konsep dan solusi Islam), yang diperlukan selanjutnya adalah membangun tatanan politik Islam, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Dengan tatanan ini, upaya untuk menghentikan penghancuran Islam akan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien lagi.
Keniscayaan Negara Khilafah dalam Menghadapi Benturan Peradaban
Hancurnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 telah melenyapkan “wadah” bagi peradaban Islam. Dengan hancurnya Khilafah, peradaban Islam telah kehilangan kekuatan dan vitalitasnya. Dapat dikatakan, peradaban Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang menopangnya telah tiada. Sebagai gantinya, peradaban Barat sekularlah yang kemudian mendominasi kaum Muslim saat ini.
Maka dari itu, eksistensi negara Khilafah adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar peradaban Islam dapat mengungguli peradaban Barat. Tentu, negara Khilafah yang akan terjun ke kancah benturan peradaban itu haruslah negara yang kuat, yang didukung oleh kekuatan ideologi, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang handal. Wallâhu a’lam.

Referensi:
Al-Qur’an
Al Hadits
Taqiyuddin An Nabhani. 2001. Peraturan Hidup dalam Islam.
Hafidz Abdurrahman. 2004. Diskursus Islam Politik dan Spiritual.
Samuel P. Huntington. 2001. Benturan Antar Peradaban.
Muhammada Lazuardi Al Jawi. 2005. Benturan Peradaban Islam VS Barat
Denny Kodrat. 2001. Diskursus Negara Islam: Antara Das Sein dan Das Sollen.
Muhammad Shiddiq Al-Jawi. 2004. Hubungan Agama dan Negara: Perspektif Islam
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud. 2005. Kemerdekaan dalam Islam: Memahami Kasus Malaysia. Majalah Islamia Vol. II No. 3 Desember 2005
Adian Husaini. 2004. Pragmatisme dalam Politik Zionis Israel. Jakarta: Khairul Bayan
www.Hayatulislam.net. 2004. Apakah Khilafah itu?
Abd Moqsith Ghazali. 2005. Absurditas Khilafah Islamiyyah